Are Electric Vehicles (EVs) always a better option than Internal Combustion Engine Vehicles (ICEVs)? : A Life Cycle Assessment of Electric Vehicles

hai
8 min readSep 30, 2022

--

Indonesia
Apakah Kendaraan Listrik Selalu Lebih Baik dari Kendaraan Berbasis BBM? : Sebuah Pendekatan Life Cycle Assessment dari Kendaraan Listrik

Pada 7 September 2022 silam, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa nilai impor Bahan Bakar Minyak (BBM) Indonesia dalam 6 bulan terakhir tercatat sebesar $23,91 Miliar dengan volume mencapai 26,67 ton. Angka tersebut secara nilai meningkat dua kali lipat dibandingkan realisasi impor pada periode yang sama tahun lalu. Sedangkan, di bulan yang sama pula PLN mengabarkan bahwa Pulau Jawa mengalami kondisi surplus pasokan listrik dengan tingkat utilisasi sebesar 40% saja.

Seiring dengan berita tersebut, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengurangi nilai subsidi yang diberikan untuk BBM dan mendorong masyarakat untuk beralih dari menggunakan kendaraan berbasis solar ke kendaraan berbasis listrik. Secara eksplisit, pemerintah mengatakan bahwa ini merupakan bentuk upaya yang dilakukan untuk meminimasi carbon footprint dari masyarakatnya. Padahal, mayoritas pembangkit listrik di Indonesia saat ini masih menggunakan batu bara. Hal ini tentu saja cukup menarik untuk dikaji karena terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara apa yang dipersepsikan “baik” oleh pemangku kebijakan dan apa yang sebenarnya “baik” untuk Indonesia.

Pada kesempatan kali ini, peneliti akan memaparkan suatu metode saintifik Life Cycle Assessment (LCA) yang biasa digunakan oleh United Nations ataupun lembaga Eropa lainnya dalam mengkaji siklus hidup produk dari hulu ke hilir untuk memperoleh gambaran yang lebih konkret mengenai dampak yang diberikan oleh suatu produk terhadap lingkungan. LCA dinilai sebagai framework terbaik untuk menilai dampak lingkungan dari suatu produk dan biasa digunakan sebagai basis dalam pembuatan kebijakan di suatu negara.

Gambar 1. Tahap-tahap LCA berdasarkan EN ISO 14040:2006

Berdasarkan gambar 1, langkah pertama yang harus dilakukan oleh peneliti dalam melakukan Life Cycle Analysis adalah dengan menentukan tujuan serta lingkup analisis dari siklus hidup produk yang akan dianalisis. Kemudian, akan dilakukan inventory analysis memberikan deskripsi dari material dan energi yang mengalir dalam suatu sistem produk terutama interaksinya dengan lingkungan. Hasil inventory analysis ini kemudian dijadikan basis dalam asesmen dampak yang diberikan dari masinng-masing aliran informasi. Kemudian, tahap terakhir adalah interpretasi. Pada tahap ini, peneliti akan menganalisis data secara detail dan kritis, menentukan sensitivitas data, serta menentukan bentuk penyajian ke khalayak umum.

Pada kesempatan kali ini, peneliti akan melakukan report review dari dokumen “Electric vehicles from life cycle and circular economy perspectives” yang disusun oleh Europe Environment Agency. Adapun gambar 2 mengilustrasikan tahapan-tahapan Life Cycle Assessment yang akan digunakan dalam laporan tersebut.

Gambar 2. Tahapan Life Cycle Assessment EVs

Tahap Ekstraksi Raw Material

Sebelum melakukan analisis, perlu dilakukan dekomposisi part-part serta raw material yang digunakan dalam pembuata part tersebut seperti yang dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

Gambar 3. Major Raw Material yang biasa digunakan dalam sebuah BEVs

Mayoritas baterai yang digunakan oleh EVs saat ini masih menggunakan bahan-bahan kritis yang ada di alam (CRM s— Critical Raw Materials) seperti grafit, mangan, kobalt, dan nikel. Selain itu, ada juga material yang diklasifikasikan sebagai REEs atau Rare Earth Elements seperti neodymium, dysprosium, dan preseodymium yang menyandang status langka di bumi. Ekstraksi dari bahan-bahan CRMs dan REEs ini berisiko mengganggu keseimbangan ekosistem di sekitarnya seperti menyebabkan eutrofikasi, pengasaman air, kontaminasi tanah dengan logam berat, kelongsoran tanah, serta kehilangan biodiversitas laut ataupun darat. Untuk dapat meminimasi dampak yang diberikan oleh ekstraksi raw material, EVs dapat mengembangkan kendaraan dengan ukuran yang lebih kecil, mengganti penggunaan REEs ataupun CRMs dengan material yang relatif lebih tidak merusak lingkungan, serta mendorong aktivitas daur ulang atau penggunaan part kembali.

Tahap Produksi

Dari perspektif lifecycle, gas rumah kaca yang dikeluarkan dari produksi kendaraan elektrik (EVs) berbasis baterai relatif lebih besar daripada gas rumah kaca yang dikeluarkan dari produksi kendaraan berbasis BBM (ICEVs). Hal ini dikarenakan kendaraan elektrik (EVs) bekerja dengan menggunakan baterai yang berfungsi sebagai motor elektrik sekaligus sebagai elektronika daya. Sedangkan mayoritas studi LCAs yang dilakukan untuk produk EVs menekankan bahwa 10–75% energi yang dibutuhkan selama proses manufaktur digunakan dalam tahap produksi baterai (Nealer and Hendrickson, 2015). Proses utama yang diduga berkontribusi paling energi intensif adalah pengerinngan elektroda serta proses pembuatan sel (cell manufacture). Selain itu, 75% emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan dari siklus hidup EVs juga dikeluarkan pada tahap produksi baterai. Hal ini dikarenakan mayoritas baterai saat ini masih diproduksi di negara yang mengeluarkan banyak karbon seperti yang bisa dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Perbandingan jumlah EVs yang diproduksi dan dijual serta perbandingan jumlah baterai yang diproduksi

Kemudian, setelah melakukan perhitungan yang komprehensif dari setiap tahapan produksi mobil IVs dan ICEVs, berikut adalah grafik perbandingan jumlah karbon dioksida dihasilkan dari produksi masing-masing jenis kendaraan pada gambar 5.

Gambar 5. Produksi emisi gas rumah kaca dari BEVs (Battery Electric Vehicles) dan ICEVs dari masing-masing ukuran kendaraan

Dari ilustrasi gambar tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara umum produksi kendaraan elektrik (UVs) memberikan kontribusi karbon dioksida yang lebih tinggi daripada produksi kendaraan berbasis BBM (ICEVs). Namun ternyata selain dilihat dari perbedaan sistem kendaraan secara inheren, terdapat beberapa variabel lain yang juga berpengaruh terhadap jumlah karbon dioksida yang diproduksi oleh EVs seperti ukuran baterai, jenis baterai, sampai dengan efisiensi energi yang digunakan dalam proses manufaktur kendaraan EVs.

Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pihak pengembang EVs untuk meminimasi dampak negatif terhadap lingkungan di antaranya adalah meningkatkan penggunaan EBT dalam proses produksi baterai dengan cara memindahkan pabrik pembuat baterai dari negara yang masih minim EBT ke negara yang relatif lebih siap mengadopsi EBT dalam proses produksinya. Kemudian dari perspektif customer, pelanggan bisa memilih untuk membli EVs yang memiliki ukuran baterai paling kecil karena energi yang digunakan dalam pembuatannya pun relatif lebih sedikit. Namun, upaya yang paling efektif adalah membangun economies of scale serta melakukan riset yang komprehensif untuk meminimasi energi yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit EVs.

Tahap Penggunaan

Terdapat tiga konsep yang dapat digunakan dalam menganalisis dampak yang diberikan oleh penggunaan BEV atau ICEV terhadap lingkungan. Konsep yang pertama adalah tahap Well-to-tank. Konsep ini menjelaskan dampak ICEV dan BEV dari segi metode ekstraksi sumber energi sampai dengan bagaimana sumber energi yang sudah diekstraksi ini dapat digunakan oleh khalayak umum. Kemudian, konsep yang selanjutnya adalah Tank-to-wheel, konsep ini menjelaskan bagaimana bagaimana sebuah kendaraan ICEV/BEV beroperasi apabila tank energi masing-masinng kendaraan sudah terisi. Dalam tahap ini, ICEV menggunakan bensin sebagai pemantik pembakaran dalam mesin sedangkan BEV menggunakan listrik dalam menggerakkan motor kendaraan. Berdasarkan definisi yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa konsep paling adil yang dapat digunakan dalam menganalisis dampak yang diberikan oleh BEV ataupun ICEV adalah konsep WTW atau Well-to-wheel. Konsep ini menekankan bahwa peneliti harus mempertimbangkan tahap Well-to-tank dan tahap Tank-to-wheel dalam menganalisis dampak yang diberikan oleh penggunaan ICEV dan BEV.

Gambar 6. Ilustrasi konsep WTT dan TTW

Pada tahap TTW, EVs dinilai tidak mengeluarkan emisi gas yang berbahaya bagi lingkungan. Meskipun demikian, predikat “ramah lingkungan” untuk EVs ini juga pada dasarnya sangat bergantung dengan bagaimana energi listrik untuk EVs ini diperoleh (tahap WTT). Berdasarkan intensitas karbon serta electricity mix Eropa pada tahun 2015, emisi rata-rata secara WTW dari EVs berada di rentang 60–76 gCO2/km. Angka ini ada di rentang 47%-58% lebih rendah dari emisi yang dikeluarkan oleh ICEVs.

Gambar 7. Perbandingan emisi gas karbon dioksida dari masing-masing jenis kendaraan. BEV = Battery Electric Vehicle; REEV = Range Extended Electric Vehicle ; PHEV = Plug in hybrids; ICEV = Internal Combustion Engine Vehicle

Dari segi konversi energi, BEV relatif lebih efisien karena memiliki kemampuan untuk mengubah 70–90% energi yang tersimpan ke dalam bentuk perpindahan (Gustafsson and Johansson, 2015). Sedangkan, secara teoritis ICEV hanya bisa mengonversi 40% dan angka ini bahkan lebih rendah lagi jika dilihat dari kondisi aktualnnya (rata-rata efisiensi konversi adalah 10–15% saja). Dengan demikian, secara umum keuntungan efisiensi yang diperoleh BEVs di tahap TTW melebihi kekurangan yang didapat dari tahap WTT. Namun, satu hal yang harus diperhatikan kembali adalah bahwa hal ini sangat dependen terhadap bagaimana suatu negara memperoleh energi listrik. Jika mix energi listrik dalam sebuah negara masih dibangkitkan menggunakan batu bara, maka emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan EVs adalah ekuivalen emisi yang dikeluarkan ICEVs yaitu 139–175 gCO2e/km atau bahkan lebih tinggi yaitu 234 gCO2e/km (di Latvia, import listrik dari negara yang mayoritas listriknya diproduksi menggunakan batu bara).

Gambar 8. Emisi gas rumah kaca dan polutan udara dari beberapa sumber pembangkit listrik

Bahkan di negara yang sudah menerapkan penggunaan sumber EBT sekalipun, pemilik EVs pun masih harus memerhatikan waktu pengecasan mobilnya masing-masing. Pengecasan yang dilakukan di siang hari dapat memanfaatkan teknologi panel surya, dengan demikian emisi yang dikeluarkan pun relatif lebih sedikit. Namun, ironisnnyna mayoritas pengecasan EVs saat ini masih dilakukan di malam hari karena pagi-sore adalah waktu dimana kendaraan tersebut secara aktif digunakan oleh penggunanya untuk melakukan transportasi dari satu tempat ke tempat yang lain. Karena mayoritas pengecasan masih dilakukan di malam hari, jumlah EBT yang dapat digunakan untuk mengisi daya mobil pun berkurang. Dengan demikian, pemilik kendaraan terpaksa harus beralih dan kembali menggunakan listrik yang berasal dari sumber pembangkit listrik seperti batu bara ataupun sumber lainnya.

Oleh karena itu, langkah utama paling krusial yang dapat dilakukan untuk meminimasi emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh EVs adalah dengan mengubah sumber pembangkit listrik yang tidak sustainable menjadi sumber pembangkit listrik berbasis EBT yang lebih sustainable. Tentu saja hal ini merupakan upaya kolektif yang harus dieskalasi oleh pemerintah apabila ingin mencapai skema net-zero pada tahun 2050.

Tahap End-of-life

Pada akhir masa penggunaannya, pihak pengembang EVs memiliki Extended Producer Responsibility (EPR) untuk mengambil kembali produknyna dan mendekomposisi part-partnnya agar bisa digunakan kembali. Komponen yang menjadi fokus proses reuse atau recycle ini adalah baterai. Seperti yang sudah dilansir sebelumnya, baterai merupakan satu komponen EVs yang membutuhkan banyak energi dalam tahap produksinyna. Selain itu, bahan-bahan yanng digunakan dalam baterai juga dinilai cukup langka. Oleh karena itu, alangkah lebih baik jika baterai tersebut dapat digunakan beberapa kali dalam masa hidupnya.

Namun, sayangnya teknologi yang ada saat ini belum memungkinkan pengembang untuk menggunakan baterai kembali secara optimal. Durasi penggunaan baterai baru adalah 8–10 tahun. Jika digunakan kembali, durasi optimal penggunaan baterai bisa jadi jauh lebih kecil dari angka tersebut. Saat ini, The Birmingham Centre for Strategic Elements and Critical Materials — ReLiB Faraday Institution project — sedang berusaha untuk membuat proses recycling dari semua material di baterai Li-On memungkinkan.

Gambar 9. Skema ilustrasi tahap end of life baterai

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan di atas, EVs berbasis baterai dengan mix pembangkit listrik EU memiliki normalised impact score yang paling kecil jika dibandingkan dengan ICEVs. Meskipun demikian, EVs berbasis baterai yang masih menggunakan pembangkit listrik berbasis batu bara memiliki normalised impact score paling tinggi jika dibandingkan dengan bentuk kendaraan yang lain. Hal ini tentu saja cukup mengkhawatirkan karena kendaraan yang dinilai “ramah lingkungan” ini justru memberikan dampak negatif yang lebih signifikan bagi lingkungan.

Oleh karena itu, sekarang adalah saatnya kita bertanya — apakah Indonesia sebagai negara yang mayoritas sumber pembangkit listriknya masih berasal dari batu bara sudah siap untuk mengadopsi teknologi EVs?

Gambar 10. Perbandingan dampak BEVs dan ICEVs terhadap perubahn iklim

Sumber :
(1) https://medium.com/disruptive-design/a-guide-to-life-cycle-thinking-b762ab49bce3

(2) Muralikrishna, I. V. & V. M., 2017. Environmental Management : Science and Engineering for Industry. Cambridge: Elsevier Inc..

(3) https://www.eea.europa.eu/publications/electric-vehicles-from-life-cycle

--

--

No responses yet